Pak Tani Jangan Jual Sawahmu..!


Semakin berkembangnya suatu daerah atau dalam skala kecil sebuah Desa bisa dilihat dari pergerakan pembangunannya yang begitu pesat. Banyaknya gedung-gedung dan infarstruktur lain yang seakan tumbuh dari dalam tanah mewarnai lika-liku dalam tiap proses  pembangunan. Menjamurnya bangunan bangunan ini seakan menjadi target utama meskipun disamping hal itu terselip beberapa kepentingan yang hendak mencari keuntunggan pribadi oleh segelintir  pihak.

Tak jarang dalam hal mengejar ketertinggalan pembangunan, sawah menjadi obyek utama yang selalu dikorbankan hampir sertiap tahunnya. Terutamanya sawah yang memiliki lokasi strategis yakni yang berada  tepat persis dipinggir jalan raya. Harga selangit yang ditawarkan pihak pembangun pun memang cukup menggiurkan bagi si pemilik sawah bahkan tak jarang jika harganya melebihi harga pasaran per meter.

Sawah yang sejak dulu telah menghidupi laju ketahanan pangan dalam suatu daerah lambat tahun kini mulai menghilang terkubur dalam  pondasi tanah bangunan. Hijau sawah dan aroma walang sangit yang dulu selalu mewarnai saat musim penen tiba kini sudah mulai jarang terlihat dan tercium lagi aromanya.

Patutnya kita  sebagai manusia yang masih doyan makan beras, harus mulai prihatin dengan laju hilangnya sawah yang sudah tidak bisa dikontrol ini. Negara kita yang dulu pernah jaya dengan ketahanan pangan dan juga lumbung padinya Asia ini, kini seakan dicap sebagai Negara yang justru lebih gemar mengimpor beras dari pada menghasilkan beras.

Faktor kebutuhan ekonomi menjadi pendorong utama para petani untuk menjual sawah sawahnya tanpa berfikir panjang, selain factor pergantian generasi yang kini sudah tidak lagi ada minat dalam meneruskan  dunia pertanian. Petani yang notabennya mengandalkan sawah sebagai tulang punggung penghidupan keluarga sepatutnya tidaklah menujual sawah mereka meskipun dengan harga yang sangat tinggi, apa lagi jika sawah tersebut adalah warisan dari orang tua mereka.

Memang benar dengan harga yang selangit itu pak tani bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, bahkan bisa membeli barang-barang yang berlabel mahal. Namun apakah sudah cukup sampai disitu saja, saya rasa tidak. Polemic baru jusru akan muncul lagi setelah hal di atas.Kehilangan ladang garap justru akan menambah jumlah angka penganguran setelah uang hasil penjualan sawah tersebut habis.

Banyak dari para Petani yang beranggapan dengan uang hasil penjualan sawahnya bisa digunakan untuk modal usaha lain. Tapi tunggu dulu, apakah selama ini petani mempunyai keahlian lain selain bertani dan bercocok tanam. Membuka usaha lain yang terlihat lebih tidak kasar dari bertani malah bisa mebuat petani  merugi jika tidak ada pengalaman dalam pengelolan uang hasil laba dan belanja. 

Jika sudah begitu apakah sawah yang sudah terjual bisa dibeli kembali, rasanya juga tidak mungkin sang pemilik baru bakal menjual kembali sawah yang telah dibelinya.  Pastinya pula sawah tersebut akan segera dibangun bangunan mewah atau insfrastruktur lain.

Selain penolakan dari petani sebagai sang pemilik sawah, peran pemerintah daerah juga sangat penting guna membatasi laju hilangnya sawah yang tiap tahunnya seakan pasti terjadi. Penerapan batas minimum terhadap luas keseluruhan sawah dalam suatu daerah rasanya sudah harus dikaji dan diterapkan agar daerah tersebut tidak sampai kekurangan persediaan pangan.

Bukankah Negara yang kuat adalah Negara yang memiliki ketahanan pangan yang kuat pula. Bukankah sudah banyak contoh hanya karena soal urusan perut, manusia bisa menjadi kilaf dengan melakukan hal-hal di luar nalarnya. Maka dari itu Pak Tani, jangan lagi engkau jual sawahmu, karena tanpamu kami takkan bisa merasakan nikmatnya nasi yang tersuguh tiap pagi. Karena engkau adalah pahlawan dari ketahanan pangan suatu Bangsa dan Negara.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pak Tani Jangan Jual Sawahmu..!"

Post a Comment