mengabDI LANdasilah dengan rasa Ikhlas


Jangan jadi guru, berat ! kamu belum tentu akan kuat
 
Sore itu, dalam sayup remang suara gemericik hujan aku menyetrika beberapa gulungan potong baju yang telah cukup kering kucuci beberapa hari lalu. Sekarang sedang musim penghujan, awan hitam kerap sekali berlama-lama di langit seraya mencucuri bumi dengan literan air hujan. Proses pengeringan yang seharusnya cukup hanya dengan satu hari, kini harus memakan beberapa hari untuk bisa kering dengan sempurna.

Siang hari ini pun masih nampak saja seperti subuh, gelapnya seakan menemani aku menyelesaikan beberapa potongan terakhir dari pakaian yang tinggal sedikit. Tak butuh waktu yang cukup lama bagiku yang sedang di landa rasa terburu- buru ini untuk menyelesaikan semua setrikaan hingga pakaian terakhir. Lantas dengan sigap segera aku tumpuk dan ku bawa ke lemari.

Di depan lemari baju yang sedikit termakan oleh rakusnya rayap itu sesekali aku melihat di sisi gantungan baju. Entah kenapa tiba-tiba mataku tertuju pada jas almamater dengan warna yang paling terang diantaranya, yah sebuah jas dari salah satu universitas ternama itu seakan menarik pandangan mataku. Aku pun tersenyum kecil seraya ku ambil jas kampus itu dan sedikit aku hirup aromanya. Hemm masih kecut saja batinku, teringat akan 5 tahun lalu saat pertama kali aku gantung di lemari memang sengaja tidak aku cuci agar keringatku melekat erat pada tiap helai benangnya.

Sesaat tanpa terkomando pikiranku melayang, bukan karena pengaruh sakaw dari bau keringat yang kuhirup tadi. Hanya saja entah kenapa tiba-tiba aku kembali mengingat masa-masa indah saat perkuliahan di kampus dulu. Mengambil jurusan pendidikan terutama PGSD bukanlah sebuah tujuan utama dalam mimpiku bahkan dalam daftar cita-citaku pun tidak. Hanya saja itu semua karena kemauan ibuku yang terus saja memaksa dan memaksa aku untuk kuliah dan menjadi seorang guru nantinya.

Ku iyakan saja karena kala itu pikiranku masih sangat polos, belum bisa melihat betapa luas dan kejamnya kenyataan dunia ini, terutamanya dunia pendidikan.  Dongeng-dongeng seputar cerita orang pada jaman dahulu yang dengan mudahnya menjadi PNS lewat prosedur sukwan menjadi racun yang paling utama untuk melariskan jurusan pendidikan ini, termasuk aku salah satunya. Padahal saat ini yang memakai cara dengan bilangan angka rupiah pun sudah bukan hal yang asing lagi dalam dunia yang mulai nyaman aku tekuni ini.

Menjadi seorang guru nyatanya tidaklah semudah itu, dan aku baru sadar setelah memang benar benar terjun dalam dunia ini. Pendidikan yang katanya digembor-gemborkan menjadi ujung tombak dalam kemajuan suatu bangsa justru berbanding terbalik dengan sologan kata mutiara tersebut. Di lapangan nyatanya banyak guru – guru yang honornya masih jauh dari kata cukup bahkan kurang dari kata layak, terutamanya mereka yang masih menyandang gelar kehormatan sebagai  GTT atau Honorer.

Banyak cerita yang aku dengar dari mereka yang sudah para senior tentang suka duka dan derita nya menjadi seorang guru honor. Dulu aku sempat heran, apa yang memotivasi mereka hingga tetap bertahan dalam lingkungan seperti itu. Bisa saja mereka berhenti lantas pergi keluar negeri yang sudah jelas gajinya sangat tinggi, menjadi babu atau pekerja pabrik.

Belum lagi tentang pandangan masyarakat yang mulai cerdas, banyak diluar sana omongan yang terdengar sekolah tinggi-tinggi cuma untuk jadi sukwan / honorer dengan gaji rendah. Parahnya jam kerja mereka yang di bayar minim ini disamakan bahkan terkadang lebih jika di bandingkan dengan mereka yang sudah PNS, semoga gaji mereka halal.

Batinku terus saja memberontak kala itu, apa sih yang bisa di harapkan kaum buruh pendidikan ini dengan pekerjaan yang hasilnya di bawah pas pasan. Jadi teringat kabar akan kedua rekan sekuliahku dulu, dua orang pemuda desa dari kota tetangga yang dengan susah payah dan perjuangan mengejar Gelar Sarjana Pendidikan namun setelah 5 Tahun mengabdi di salah satu sekolah dasar mereka memilih untuk keluar dengan alasan isi amplop tidak sesuai dengan cucuran keringat yang telah diperas.

Cerita cerita kejut diatas terkadang cukup efektif meracuni pikiranku. Alhasil sering bolos dan asal-asalan menyampaikan suatu pelajaran menjadi akibat dari sebab hilangya semangat. Di saat terjatuh seperti itulah entah kenapa Tuhan seakan menyemangatiku melalui nasihat ibuku atau pun juga dari kisah para senior GTT yang sudah puluhan tahun mengapdi. Dari mulut yang berbeda aku mendangar satu kata yang sama, sebuah kunci pengabdian dalam hal apapun yakni iklas dan iklas.

Memang benar tanpa kata ajaib itu, apapun yang akan kita jalani akan terasa sangat berat, karena mengabdi memang bukan semata untuk mencari pecahan angka saja. Namun lebih dari pada itu ada nilai tersendiri dan kepuasan sebagai manusia yang mengemban tanggung jawab dari apa yang telah di kerjakaanya.

Menjadi guru memang berat terutamanya bagi mereka yang masih menyandang gelar GTT, namun yang pasti kita tidak pernah  sendirian dalam hal apapun di dunia ini. Masih banyak diluar sana seorang pengabdi dari berbagai lini yang honornya sangat jauh dari kata layak namun mereka tetap semangat dalam mengabdikan diri di dalam bidangnya masing masing. 

Yang jelas dalam sebuah pengabdian harus di tanamkan sejak awal melangkah bahwa angka bukanlah tujuan utamanya. Karena di sana kita tidak akan bisa menjumpai jutaan angka yang akan di selipkan di amplop bulananmu. iklaskan hati dan juga kuat kan diri karena dalam mengemban tanggung jawab menjadi guru itu sangat berat dan kamu belum tentu akan kuat jika tidak DILANdasi rasa ikhlas dalam sebuah pengabdian.






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "mengabDI LANdasilah dengan rasa Ikhlas"

Post a Comment